Resensi Film Sang Pencerah ( Kh. Ahmad Dahlan)

Judul film : Sang Pencerah
Director : Hanung Bramantyo
Running Time : 112 minute
Genre : Historical (sejarah), Indonesia
Tahun : 2010

Sebagai orang yang pernah menimba ilmu agama di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Muhammadiyah dan alumnus SD Muhammadiyah di Garut (1964-1969), saya tertarik melihat film Sang Pencerah (SP) garapan Hanung Bramantyo. Sineas muda yang juga menggarap AAC (Ayat Ayat Cinta) ini memang patut diacungi jempol.

Muhammadiyah sejak pendiriannya memang didedikasikan untuk dunia pendidikan dan kesehatan. Jadi, wajar kalau saat ini kita temukan pendidikan dasar, menengah dan tinggi Muhammadiyah di Nusantara ini. Dan di kompleks pendidikan Muhammadiyah itu selalu ada BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak) dan PA (Panti Asuhan).

Secara keseluruhan film SP itu sangat bagus ditinjau dari segi kandungan, alur cerita, seni penataan musik, dan segi perfilman lainnya. Paling tidak, sebagai orang awam-film, saya dapat menikmati nonton film SP, mampu memberikan atensi terhadap film tersebut, duduk dengan tenang.

Muhammad Darwis (nama KH Ahmad Dahlan) sebelum ke Mekkah) selalu bertanya di dalam hatinya. Mengapa agama yang diyakininya sebagai rahmatan lilalamin (rahmat atau kebaikan bagi seluruh alam) justru tidak nampak.

Secara fakta banyak sekali masyarakat yang terlantar dan seakan-akan dibiarkan oleh para pemuka agama. Orang-orang miskin dibiarkan melarat seakan sudah menjadi takdir mereka, nyata-nyata di hadapan masjid. Kesehatan masyarakat sangat rapuh. Tidak ada yang tergerak hatinya untuk memperbaiki hidup dan kehidupan mereka.

Para pemuka agama dan pengikutnya tidak terusik dan sibuk dengan ritual keagamaan. Setiap hari mereka sholat berjamaah, sementara masyarakat miskin di sekitar masjid sudah kehilangan harapan hidup. Situasi demikian kontras, dan dari hari ke hari semakin banyak jumlah.

Pemahaman agama juga bercampur aduk dengan kepercayaan mistik berlebih-lebihan. Sesajen berbagai jenis makanan terbuang begitu saja. Sangat mubah. Upacara tahlilan sangat berlebihan. Bahkan mereka yang sudah kehilangan saudaranya juga harus melaksanakan tahlilan yang overdosis, membuat masyarakat menjadi sedih lahir dan batin.

Masyarakat menganggap bahwa tahlilan adalah kewajiban agama. Darwis merasa yakin bahwa ini bukan esensi beragama. Pasti ada kesalahan pemahaman terhadap agama yang sebenarnya untuk rahmatan lilalamin.

Bila sebuah kebiasaan lalu dibungkus dengan kepercayaan sebagai sesuatu yang sakral, maka kebiasaan itu dianggap sebuah kebenaran. Keluar dari kebiasaan itu berarti pelanggaran.

Orang lain akan menganggap mereka yang tidak sama kebiasaannya bukanlah kelompoknya, bukan orang-orang beriman alias kafir. Situasi ini dimanfaatkan oleh penguasa (penjajah), bila menguntungkan maka akan diteruskan dan dilindungi seolah-olah inilah ajaran Tuhan yang wajib ditaati.

Bila kebiasaan ini mengusik kenikmatan atasan (pemimpin umat, pemerintah, penjajah) maka itu harus dimusnahkan. Keadaan bercampur aduk dengan pimpinan agama yang vested dan mudah memberi cap kafir bagi mereka yang tidak sepaham. Itulah secara umum yang terjadi di sekitar Ngayogyakarta pada saat itu.

Cap kafir ini sangat mujarab sehingga orang tidak ada yang mempertanyakan kekeliruan ini terus terjadi. Para pengikut agama yakin seyakin yakinnya bahwa perilaku kafir adalah sebesar-besarnya dosa. Jadi, harus dijauhi.

Tetapi mereka banyak yang tidak paham makna iman, musyrik, mistik, sholat, ibadah, kafir, dan sesajen campur baur menjadi kepercayaan seakan kebenaran ajaran yang wajib ditaati. Tanpa reserve.

Ketika Darwis membahas semua itu dengan ayahandanya yang diperankan oleh Ikrangera, sang ayah tidak sepenuhnya menerima. Dikatakannya bahwa agama itu bukan soal akal saja, tetapi juga harus dengan hati.

Pernyataan ini ada benarnya, tetapi hati yang bagaimana dulu? Hati yang sudah dilumuti kesenangan duniawi, kedudukan, kepangkatan, kewibawaan, tentunya akan memelihara kebiasaan yang dibungkus dengan kepercayaan yang seolah-olah agung. Tidak jarang hati seperti ini justru telah mengikat kita dengan ketamakan duniawi. Kita tidak lagi menjadi bebas, tetapi terperdaya oleh hawa nafsu.

Muhammad Darwis tetap tidak bisa menerima situasi demikian. Tetapi bagaimana caranya? Inilah yang menjadi esensi perjuangannya. Darwis lalu pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah al Mukaramah. Di sanalah Darwis sempat membaca pemikiran-pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.

Muhammad Abduh (1849-1905) pemikir modern dari Mesir yang menekankan betapa pentingya akal. Seperti yang dituangkan di dalam Surah Al-Baqarah (30-34) tentang kejadian manusia, jelas sekali bahwa kelebihan manusia di atas makhluk hidup lainnya adalah karena kekuatan akalnya. Akal-fikiran itulah yang membuat manusia layak menjadi khalifatul-fil-ardli (pemimpin di muka bumi).

Abduh mengajarkan bahwa manusia diberikan anugerah intelegensia oleh Allah, untuk dipergunakan. Manusia bukanlah kerbau yang ditusuk hidungnya lalu mengekor ke mana saja maunya pimpinan.

Abduh berprinsip bahwa kebebasan berpikir untuk selalu bertanya dan berinovasi adalah modal kemajuan sebuah negara. Negara maju, menurut Abduh, adalah negara yang pandai menggunakan otaknya.

Dengan demikian, ilmu pengetahuan terus berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Itulah kelebihan orang Barat ketimbang Timur. Dalam konteks ini barangkali Abduh berpendapat "saya melihat Islam di negara Barat, tetapi sedikit Muslim. Dan saya melihat banyak Muslim di Timur, tetapi tidak ada Islam".

Abduh juga dikenal dekat dengan tokoh-tokoh dari kalangan Nasrani dan Yahudi.

Rupanya pemikiran Abduh sejalan dengan apa yang dipikirkan Darwis. Tidak heran kalau Darwis sering berpendapat bahwa guru agama bukanlah yang menentukan segalanya. Kebenaran harus bersama-sama dicari, bukan hanya milik guru.

Pola pendidikan ini tentu sangat berbeda diametral dengan yang selama ini dianggap kebenaran di Ngayogyakarta, yakni petuah guru adalah kebenaran. Murid hanya boleh mengikuti, tanpa ada bantahan sedikitpun.

Seperti kebiasaan masa itu, orang Indonesia yang pergi berhaji, lalu mendapat nama baru. Begitupun Darwis, namanya jadi Ahmad Dahlan (AD). Dengan bekal nalar yang kuat ditambah pengetahuan agama yang semakin banyak selama di Makkah al-Mukaramah, AD semakin memiliki modal untuk melakukan perubahan.

Sepulang dari Mekah, AD dijadikan Imam Masjid di Kauman dan berhak memberikan tausiah. Ceramah-ceramahnya agak berbeda dengan para kiai umumnya waktu itu yang sangat menekankan penerimaan tanpa banyak bertanya, AD justru menekankan betapa pentingnya akal.

Bertanya dan diskusi adalah modal awal untuk maju. AD juga mengajarkan bahwa Al-Qur'an dapat dikaji sesuai dengan nuansa ke kinian, tidak statis tapi dinamis. Tentu saja tausiah model ini cukup membuat para kiai saat itu merinding, karena sudah keluar dari pakem.

Dengan bekal pengetahuannya tentang ilmu bumi dan penggunaan kompas, AD mempertanyakan arah sholat yang sudah bertahun-tahun diterima sebagai suatu kebenaran. Inipun membuat hampir semua jamaah terutama para kiainya tersinggung. Mereka tidak mau menerima penjelasan berbasis ilmu pengetahuan yang dipakai AD.

Inilah barangkali yang ada di dalam salah satu ayat Surah Al-Baqarah 'tertutuplah mata dan hatinya, sehingga mereka tidak mau belajar'.

Ahmad Dahlan bependapat bahwa penggunaan alat dan ilmu pengetahuan

Karena perbedaan yang dianggap prinsipil, maka AD diberhentikan dari jabatan Imam mesjid. Dan AD membuat mesjid kecil sekalian dipergunakan untuk belajar mereka yang mulai berpikir terbuka. Para muridnya memanggil kiayi, lengkapnya Kiai Haji Ahmad Dahlan (KHAD).

Pola pengajiannya sangat berbeda dengan kebiasaan saat itu. Ketika ada beberapa orang muda tertarik dengan pemikiran KHAD bertanya apa itu agama. KHAD malah memainkan biolanya yang membuat orang-orang muda menjadi tenang mendengar kesyahduannya.

Lalu biola itu diberikan kepada salah seorang pemuda dan diminta memainkannya. Keruan saja suaranya menjadi berantakan, karena pemuda itu tidak punya ilmu dan keahlian memainkan biola.

Seusai itu KHAD menerangkan makna agama 'Agama bagaikan musik indah yang mampu memberikan kesyahduan, ketenangan, dan kebahagiaan. Tetapi harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan, kalau tidak malah bisa menjadi kacau dan jadi bahan tertawaan'.

Perjuangannya semakin mendapat tantangan dan tidak jarang KHAD dikategorikan orang kafir. Akan tetapi KHAD semakin "keukeuh" bahwa perubahan harus dilakukan.

Maka KHAD mempelajari organisasi-organisasi modern yang mengajak pada perubahan, terutama Budi Utomo. Dari situ muncullah inspirasi pendirian Muhammadiyah. Maka lahirlah Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912, sebagai perserikatan non-politik.

Berbasis perjuangan melalui pendidikan dan kesehatan Muhammadiyah terus berkembang secara kuantitatif. Secara kualitatif, Muhammadiyah harus mulai introspeksi, karena tantangan zamannya juga semakin kompleks.

Tanpa harus berubah menjadi sebuah partai, Muhammadiyah bisa dengan tegar memberikan masukan kepada penyelenggara negara. Yang jelas, titipan KHAD harus terus dipegang "hidupilah Muhammadiyah, tetapi jangan mencari penghidupan dari Muhammadiyah". Insya Allah.

Resensi Novel Sang Alkemis

Di Mana Hatimu Berada, Di Situlah Hartamu Berada

Judul Novel : Sang Alkemis
Penulis : Paulo Coelho
Penerbit : Pustaka Alvabet Anggota IKAPI, Jakarta, Cetekan 7, Juni 2005
Tebal : 193 Halaman
Harga : Rp30.000,00


Datangnya suatu pemberian ilham untuk mengikuti mimpi-mimpi diri sendiri dengan memandang dunia melalui mata diri sendiri, dan bukan mata orang lain. Sebuah cerita yang disajikan dengan kelugasan dan kesederhanaan yang memuat kisah yang kuat dan memancarkan keagungan yang dapat melandasi kearifan mengikuti hati seseorang. Tampaknya, inilah plot yang dipilih Paulo Coelho untuk novelnya yang berjudul Sang Alkemis.
Novel ini bercerita dengan memukau tentang Santiago, bocah gembala Andalusia yang tidak bersekolah karena kedua orang tuanya hanya bekerja sebagai petani. Dan kedua orang tuanya menginginkan Santiago kelak besar nanti untuk menjadi seorang pastur. Tetapi keinginan Santiago berlawanan dengan keinginan kedua orang tuanya, Santiago hanya berkeinginan untuk mengembara mencari harta duniawinya. Dari kampong halamannya di Spanyol, ia ke Tangier dan menyebrangi gurun Mesir.
Setting inilah, menurut Romerikes Blad ( Norwegia ) dalam pujian internasional untuk Sang Alkemis, yang kemudian menjadi unsure pokok penciptaan suasana, yang diilhami oleh dongeng-dongeng tradisional, dinafasi oleh kitab-kitab suci dan legenda-legenda. Bahkan tidak sungkan Romerikes Blad (Norwegia) menilai karya Paulo Coelho sebagai salah satu dari segelintir karya yang berhak menyandang gelar fenomena penerbitan.(hlm.ii)
Novel ini dimulai dengan pemaparan yang menarik mengenai bocah yang bernama Santiago dengan kawan-kawan ternaknya bermala di sebuah gereja yang terbengkalai dan pohon sikamor yang sangat besar tumbuh di titik tempat sakristis pernah berdiri. Ketka ia sedang tidur Santiago bermimpi yang sama seperti minggu lalu, dan sekali lagi ia terbangun sebelum mimpinya selesai. Lalu Santiago bangun dan mengambil tongkat untuk membangunkan domba-dombanya yang masih tidur. Santiago segera memperhatikan hewan-hewannya yang sudah mulai ribut. Sepertinya ada energi misterius yang menghubungkan hidupnya dengan domba-domba, yang telah bersamanya selama dua tahun, mengembalakan mereka menyusuri pedesaan guna mencari makan dan air. “Mereka sudah begitu terbiasa denganku hingga tahu jadwalku,” gumam si bocah. Memikirkan hal tersebut ia sadar beleh jadi sebaliknya : dialah yang menjadi terbiasa dengan jadwal dombanya.(hlm.6).
Ketika beberapa hari kemudian dia selalu berbicara kepada dombanya hanya satu gadis yaitu, putri pedagang kain. Paras gadis itu khas Andalusia, dengan rambut hitam bergelombang dan mata yang secara samara-samar mengingatkannya pada para penakluk bangsa Moor. Baru kali ini Santiago ingin menetap di suatu daerah.
Santiago berfikir bila suatu hari nanti dia menjadi monster, dan memutuskan untuk membunuh dombanya, satu-persatu. Ia pun terkejut dengan pemikirannya. Dia berfikir mungkin karena gereja itu, dengan pohon sikamor yang tumbuh di dalamnya, ada hantunya. Itulah yang menyebabkan ia bermimpi yang sama dua kali, dan menyebabkan dia merasa geram terhadap kawan-kawan setianya.
Lalu, pada waktu seketika Santiago berfikir untuk mewujudkan mimpi menjadi kenyataan membuat hidup menarik. Lalu ia menemui seorang permpuan di Tarifa, yaitu seorang peramal. Peramal itu berkata, ”dan ini tafsirannya: kamu harus pergi ke Piramida di Mesir. Aku belum pernah mendengar tentangnya, tapi, bila seorang anak menunjukannya padamu, artinya tempat itu benar-benar ada. Di sana akan kau temukan harta yang akan membuatmu kaya.”(hlm 18).
Lalu Santiago melanjutkan perjalanannya untuk menuju ke Piramida di Mesir. Tetapi ketika sedang di perjalanan Santiago bertemu dengan orang tua yaitu seorang raja dari Salem. Raja itu mengetahui maksud perjalanan Santiago, yaitu mencari legenda pribadinya. Raja itu akan memberi tahu bahwa harus pergi ke arah mana agar Santiago sampai di Mesir, tetapi Raja itu meminta imbalan dengan memberinya sepersepuluh dari domba yang dimiliki oleh Santiago. Di tengah alun-alun dengan angin yang mulai kencang. Dia tahu angin apa itu: orang menamakannya levanter, karena pada saat itulah bangsa Moor datang dari kota Levant di ujung timur Mediteranea. ”di sinilah aku, antara kawanan dombaku dan hartaku.” Pikir si bocah. Pada esok harinya Santiago bertemu lagi dengan Raja tua itu. ”Dimana harta karun itu?” tanya Santiago. ”Di Mesir dekat Piramida.” jawab si Raja. Lalu raja itu memberikan dua buah batu yang tertancap di tengah-tengah penuup dadanya, yang diberi nama Urim dan Thummim.
Setelah sampai di Afrika ketika di sebuah kedai dia bercakap-cakap dengan seorang pemuda yang tidak lain adalah seorang pencuri, dan akhirnya uang yang dimiliki oleh Santiago di ambilnya pergi. Santiago harus pergi ke Gurun Sahara tanpa mempunyai uang sepeser pun, untuk meraih legenda pribadinya. Lalu setelah si bocah berjalan, si bocah menemukan sebuah toko kristal dan akhirnya si bocah bekerja di toko kristal tersebut.
Pedagang itu memahami perkataan si bocah. Kehadiran si bocah di toko kristal itu merupakan suatu pertanda dan seiring berjalannya waktu dan mengalirnya uang ke laci, dia tidak pernah menyesal telah mempekerjakan si bocah. Dia mendapat bayaran lebih dari semestinya, karena pedagang itu menduga penjualan tidak akan tinggi, dan sebab itu ia menawari si bocah persentase komisi yang besar. Dia mengira si bocah akan segera kembali ke domba-dombanya.”mengapa kamu ingin pergi ke Piramida?” tanya si pedagang kristal itu. ”Karena aku selalu mendengar tentang Piramida.” jawab si bcah, tanpa sedikit pun menyebut mimpinya. Harta karun itu sekarang bukanlah apa-apa selain ingatan yang menyakitkan, dan dia berusaha menghindar dari memikirkan hal itu. ”Aku tidak pernah mendengar ada orang di sini yang mau mengarungi gurun hanya untuk melihat Piramida,” kata si pedagang. ”piramida-piramida itu hanya tumpukan batu. Kamu dapat membuatnya di halaman rumahmu.”si pedagang berkata lagi. ”Bapak tidak pernah bermimpi berkelana.” kata si bocah. ”Bapak hanya ingin menjalankan kewajiban ke lima sebagai seorang muslim, yaitu pergi menunaikan ibadah haji.” jawab si pedagang.(hlm 62).
Setelah beberapa bulan si bocah bekerja di toko kristal itu, lalu si bocah meneruskan perjalannannya untuk pergi ke Piramida. Lalu si bocah bertemu dengan lelaki inggris yang sedang duduk di sebuah bangku panjang di suatu bangunan yang berbau binatang, keringat dan debu. Bangunan ini separuh gudang, separuh kandang. Lalu si bocah bercakap-cakap dengan lelaki inggri itu, ternyata lelaki inggris itu sedang mecari seorang alkemis yang tertulis di suatu buku, alkemis itu termansyur di Arab yang mengunjungi Eropa. Dikatakan bahwa umurnya lebih dari duaratu tahun, dan bahwa dia telah menemukan batu Filsuf dan Obat Hidup. Lelaki inggris itu terkesan dengan kisah tadi. Tapi dia tidak pernah mengira bahwa cerita itu bukan sekedar dongeng, bila seorang temanya-sekembali dari ekspedisi arkeologi di gurun-tidak memberi tahu dia tentang seorang Arab yang memiliki kekuatan-kekuatan yang menakjubkan. ”Dia tinggal di oasis Al-Fayoum,” tutur temanya itu.”Dan orang-orang bialng umurnya dua ratus tahun, dan bisa mengubah logam apapun menjadi emas.”(hlm 77).
Lalu si bocah dan laki-laki itu pergi melewati gurun untuk pergi ke oasis bersama rombongan Kafilah. Gurun adalah hamparan pasir di beberapa tempat, dan bebatuan di tempat lainnya. Jika karavan terhalang oleh bebatuan besar, ia harus mengitarinya; bila ada daerah bebatuan yang sangat luas, mereka harus mengitari putaran besar. Kalau pasir terlalu lunak bagi kuku-kuku hewan, mereka mencari jalan yang tanahnya lebih keras.
Di saat lain, muncul orang-orang misterius yang berkerudung; mereka adalah orang-orang Badui yang mengawasi jalannya rute karavan. Mereka memberi peringatan tentang para perampok dan suku-suku buas. Suatu malam, suatu penunggang onta mendatangi unggun orang inggris dan si bocah duduk.”Ada isu tentang perang suku,” ungkapnya kepada mereka. Ketiganya terdiam. Si bocah merasakan adanya rasa takut di udara, meski tak seorangpun yang mengatakan sesuatu. Sekali lagi ia merasakan bahasa tanpa kata-kata...bahasa universal.
”Sekali kamu masuk ke dalam gurun, tak ada jalan untuk kembali,” ujar penunggang onta itu. ”Dan, bila kau tak dapat kembali, yang harus kau pikirkan hanyalah jalan terbaik untuk bergerak ke depan. Selanjutnya terserah Allah, termasuk bahaya.”Dan dia menyimpulkan dengan mengucap kata misterius itu: ”Maktub.”(hlm 89).
Di oasis si bocah bertemu dengan seorang gadis yang bernama Fatimah, seorang gadis yang memikat hati si bocah. Si bocah telah melupakan untuk meraih legenda pribadinya karena ia sudah memiliki satu ekor unta, uang hasil bekerja di toko kristal, lima puluh keping emas dan ia sudah memiliki Fatimah. Di negrinya ia akan jadi orang kaya. Tetapi kata Sang Alkemis semua yang kau punya sekarang bukan berasal dari Piramida. Alkemis itu akan mengantarkan si bocah untuk meraih legenda pribadinya. Dan mereka memulai perjalannya untuk pergi ke Piramida meski sedang terjadi perang suku di gurun tersebut.
Di hari ke tujuh perjalananny, sang alkemis memuruskan membuat tenda lebih awal dari biasanya. Elangnya terbang mencari buruan, dan alkemis menyodorkan tempat minumnya pada si bocah. ”Kau hampir tiba di perjalananmu,” kata sang alkemis. ”kuucapkan selamat padamu untuk pencarian Legenda Pribadimu.”
”Hanya ada satu cara untuk belajar,”jawab sang alkemis. ”Melalui tindakan. Semua yang perlu kau ketahui telah kau pelajari melalui perjalananmu. Kamu hanya perlu mempelajari satu hal lagi.”ujar sang alkemis itu. Si bocah ingin mengetahui itu apa itu, tapi sang alkemis memandang ke cakrawala, mencari elangnya. ”Mengapa kamu disebut sang alkemis?” Tanya si bocah. ”karena memang itulah aku,” Uajar sang alkemis.
”Dan apa yang salah ketika alkemis-alkemis lain mencoba membuat emas dan tak berhasil melakukannya?”
”Mereka hanya mencari emas,” jawab teman perjalananya. ”Mereka mencari harta dalam Legenda Pribadinya, tanpa benar-benar menginginkan menjalankan Legenda Pribadinya itu.”
”Apa yang masih perlu aku ketahui?” tanya si bocah.tetapi sang alkemis kembali menatap cakrawala.(hlm 145).
"Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?" tanya si anak, ketika mereka mendirikan tenda pada hari itu.
"Karena, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada."(hlm 148). Bagaimana ending-nya ? akhirnya si bocah tersebut menemukan letak dimana beradanya Legenda pribadinya. Tetapi setelah ia menggali di mana hartanya berada, si bocah mendengar suara kaki. Beberapa orang mendekatinya. Mereka menyuruh si bocah untuk terus menggali, tetapi tidak menemukan apa-apa. Ketika matahari terbit, orang-orang itu menghajar si bocah dan mengambil harta yang dimiliki sibocah.dan akhirnya si bocah mengetahui di mana hartanya berada.
Si bocah akhirnya mengetahui di mana hatinya berada yaitu, dengan kembali lagi ke gereja kecil dan terbengkalai dengan pohon sikamor yang masih tegak di sakritis. Setelah pagi-pagi ia menggali di dasar pohon sikamor dan setelah setengah jam kemudian, sekopnya membentur sesuatu yang keras. Satu jam kemudian, di hadapannya tampak seperti coin emas Spanyol. Juga ada batu-batu berharga, topeng-topeng emas yang dihiasi bulu-bulu merah dan putih, dan patung-patung batu bertatahkan permata. Perjalanan itu pulalah yang membawanya menemukan cinta sejatinya: Fatima, gadis gurun yang setia menanti kepulangannya.

Membaca novel ini seperti menjelajahi suatu petualangan yang penuh keajaiban dan kearifan mengikuti hati seseorang. Novel ini memuat pesona komis, ketegangan dramatis, dan intensitas psikologis sebuah novel. Serta cerita ini disjikan dengan kelugasan dan kesadaran yang mengangkat pembacanya keluar dari waktu dan memusatkan perhatian pada kisah ajaib tentang seorang pemimpin yang mencari dirinya. Sebuah novel dengan pesan yang jelas bagi setiap pembacanya.
Novel ini tampaknya lebih mengedepankan untuk meraih impian. Itu sebabnya banyak kejadian atau konflik yang yang seharusnya dicantumkan lebih detail dan menarik, tetapi hanya ditampilkan secara singkat tanpa kurang dipahami oleh setiap pembacanya.

sumber : mnemuisatuhal.blogspot.com