Judul film : Sang Pencerah
Director : Hanung Bramantyo
Running Time : 112 minute
Genre : Historical (sejarah), Indonesia
Tahun : 2010
Sebagai orang yang pernah menimba ilmu agama di
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Muhammadiyah dan alumnus SD Muhammadiyah di
Garut (1964-1969), saya tertarik melihat film Sang Pencerah (SP) garapan
Hanung Bramantyo. Sineas muda yang juga menggarap AAC (Ayat Ayat Cinta)
ini memang patut diacungi jempol.
Muhammadiyah sejak
pendiriannya memang didedikasikan untuk dunia pendidikan dan kesehatan.
Jadi, wajar kalau saat ini kita temukan pendidikan dasar, menengah dan
tinggi Muhammadiyah di Nusantara ini. Dan di kompleks pendidikan
Muhammadiyah itu selalu ada BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak) dan PA
(Panti Asuhan).
Secara keseluruhan film SP itu sangat bagus
ditinjau dari segi kandungan, alur cerita, seni penataan musik, dan segi
perfilman lainnya. Paling tidak, sebagai orang awam-film, saya dapat
menikmati nonton film SP, mampu memberikan atensi terhadap film
tersebut, duduk dengan tenang.
Muhammad Darwis (nama KH Ahmad
Dahlan) sebelum ke Mekkah) selalu bertanya di dalam hatinya. Mengapa
agama yang diyakininya sebagai rahmatan lilalamin (rahmat atau kebaikan
bagi seluruh alam) justru tidak nampak.
Secara fakta banyak
sekali masyarakat yang terlantar dan seakan-akan dibiarkan oleh para
pemuka agama. Orang-orang miskin dibiarkan melarat seakan sudah menjadi
takdir mereka, nyata-nyata di hadapan masjid. Kesehatan masyarakat
sangat rapuh. Tidak ada yang tergerak hatinya untuk memperbaiki hidup
dan kehidupan mereka.
Para pemuka agama dan pengikutnya tidak
terusik dan sibuk dengan ritual keagamaan. Setiap hari mereka sholat
berjamaah, sementara masyarakat miskin di sekitar masjid sudah
kehilangan harapan hidup. Situasi demikian kontras, dan dari hari ke
hari semakin banyak jumlah.
Pemahaman agama juga bercampur aduk
dengan kepercayaan mistik berlebih-lebihan. Sesajen berbagai jenis
makanan terbuang begitu saja. Sangat mubah. Upacara tahlilan sangat
berlebihan. Bahkan mereka yang sudah kehilangan saudaranya juga harus
melaksanakan tahlilan yang overdosis, membuat masyarakat menjadi sedih
lahir dan batin.
Masyarakat menganggap bahwa tahlilan adalah
kewajiban agama. Darwis merasa yakin bahwa ini bukan esensi beragama.
Pasti ada kesalahan pemahaman terhadap agama yang sebenarnya untuk
rahmatan lilalamin.
Bila sebuah kebiasaan lalu dibungkus dengan
kepercayaan sebagai sesuatu yang sakral, maka kebiasaan itu dianggap
sebuah kebenaran. Keluar dari kebiasaan itu berarti pelanggaran.
Orang
lain akan menganggap mereka yang tidak sama kebiasaannya bukanlah
kelompoknya, bukan orang-orang beriman alias kafir. Situasi ini
dimanfaatkan oleh penguasa (penjajah), bila menguntungkan maka akan
diteruskan dan dilindungi seolah-olah inilah ajaran Tuhan yang wajib
ditaati.
Bila kebiasaan ini mengusik kenikmatan atasan (pemimpin
umat, pemerintah, penjajah) maka itu harus dimusnahkan. Keadaan
bercampur aduk dengan pimpinan agama yang vested dan mudah memberi cap
kafir bagi mereka yang tidak sepaham. Itulah secara umum yang terjadi di
sekitar Ngayogyakarta pada saat itu.
Cap kafir ini sangat
mujarab sehingga orang tidak ada yang mempertanyakan kekeliruan ini
terus terjadi. Para pengikut agama yakin seyakin yakinnya bahwa perilaku
kafir adalah sebesar-besarnya dosa. Jadi, harus dijauhi.
Tetapi
mereka banyak yang tidak paham makna iman, musyrik, mistik, sholat,
ibadah, kafir, dan sesajen campur baur menjadi kepercayaan seakan
kebenaran ajaran yang wajib ditaati. Tanpa reserve.
Ketika Darwis
membahas semua itu dengan ayahandanya yang diperankan oleh Ikrangera,
sang ayah tidak sepenuhnya menerima. Dikatakannya bahwa agama itu bukan
soal akal saja, tetapi juga harus dengan hati.
Pernyataan ini
ada benarnya, tetapi hati yang bagaimana dulu? Hati yang sudah dilumuti
kesenangan duniawi, kedudukan, kepangkatan, kewibawaan, tentunya akan
memelihara kebiasaan yang dibungkus dengan kepercayaan yang seolah-olah
agung. Tidak jarang hati seperti ini justru telah mengikat kita dengan
ketamakan duniawi. Kita tidak lagi menjadi bebas, tetapi terperdaya oleh
hawa nafsu.
Muhammad Darwis tetap tidak bisa menerima situasi
demikian. Tetapi bagaimana caranya? Inilah yang menjadi esensi
perjuangannya. Darwis lalu pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah al
Mukaramah. Di sanalah Darwis sempat membaca pemikiran-pemikiran
Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh
(1849-1905) pemikir modern dari Mesir yang menekankan betapa pentingya
akal. Seperti yang dituangkan di dalam Surah Al-Baqarah (30-34) tentang
kejadian manusia, jelas sekali bahwa kelebihan manusia di atas makhluk
hidup lainnya adalah karena kekuatan akalnya. Akal-fikiran itulah yang
membuat manusia layak menjadi khalifatul-fil-ardli (pemimpin di muka
bumi).
Abduh mengajarkan bahwa manusia diberikan anugerah
intelegensia oleh Allah, untuk dipergunakan. Manusia bukanlah kerbau
yang ditusuk hidungnya lalu mengekor ke mana saja maunya pimpinan.
Abduh
berprinsip bahwa kebebasan berpikir untuk selalu bertanya dan
berinovasi adalah modal kemajuan sebuah negara. Negara maju, menurut
Abduh, adalah negara yang pandai menggunakan otaknya.
Dengan
demikian, ilmu pengetahuan terus berkembang sesuai dengan kemajuan
zaman. Itulah kelebihan orang Barat ketimbang Timur. Dalam konteks ini
barangkali Abduh berpendapat "saya melihat Islam di negara Barat, tetapi
sedikit Muslim. Dan saya melihat banyak Muslim di Timur, tetapi tidak
ada Islam".
Abduh juga dikenal dekat dengan tokoh-tokoh dari kalangan Nasrani dan Yahudi.
Rupanya
pemikiran Abduh sejalan dengan apa yang dipikirkan Darwis. Tidak heran
kalau Darwis sering berpendapat bahwa guru agama bukanlah yang
menentukan segalanya. Kebenaran harus bersama-sama dicari, bukan hanya
milik guru.
Pola pendidikan ini tentu sangat berbeda diametral
dengan yang selama ini dianggap kebenaran di Ngayogyakarta, yakni petuah
guru adalah kebenaran. Murid hanya boleh mengikuti, tanpa ada bantahan
sedikitpun.
Seperti kebiasaan masa itu, orang Indonesia yang
pergi berhaji, lalu mendapat nama baru. Begitupun Darwis, namanya jadi
Ahmad Dahlan (AD). Dengan bekal nalar yang kuat ditambah pengetahuan
agama yang semakin banyak selama di Makkah al-Mukaramah, AD semakin
memiliki modal untuk melakukan perubahan.
Sepulang dari Mekah,
AD dijadikan Imam Masjid di Kauman dan berhak memberikan tausiah.
Ceramah-ceramahnya agak berbeda dengan para kiai umumnya waktu itu yang
sangat menekankan penerimaan tanpa banyak bertanya, AD justru menekankan
betapa pentingnya akal.
Bertanya dan diskusi adalah modal awal
untuk maju. AD juga mengajarkan bahwa Al-Qur'an dapat dikaji sesuai
dengan nuansa ke kinian, tidak statis tapi dinamis. Tentu saja tausiah
model ini cukup membuat para kiai saat itu merinding, karena sudah
keluar dari pakem.
Dengan bekal pengetahuannya tentang ilmu bumi
dan penggunaan kompas, AD mempertanyakan arah sholat yang sudah
bertahun-tahun diterima sebagai suatu kebenaran. Inipun membuat hampir
semua jamaah terutama para kiainya tersinggung. Mereka tidak mau
menerima penjelasan berbasis ilmu pengetahuan yang dipakai AD.
Inilah
barangkali yang ada di dalam salah satu ayat Surah Al-Baqarah
'tertutuplah mata dan hatinya, sehingga mereka tidak mau belajar'.
Ahmad Dahlan bependapat bahwa penggunaan alat dan ilmu pengetahuan
Karena
perbedaan yang dianggap prinsipil, maka AD diberhentikan dari jabatan
Imam mesjid. Dan AD membuat mesjid kecil sekalian dipergunakan untuk
belajar mereka yang mulai berpikir terbuka. Para muridnya memanggil
kiayi, lengkapnya Kiai Haji Ahmad Dahlan (KHAD).
Pola
pengajiannya sangat berbeda dengan kebiasaan saat itu. Ketika ada
beberapa orang muda tertarik dengan pemikiran KHAD bertanya apa itu
agama. KHAD malah memainkan biolanya yang membuat orang-orang muda
menjadi tenang mendengar kesyahduannya.
Lalu biola itu diberikan
kepada salah seorang pemuda dan diminta memainkannya. Keruan saja
suaranya menjadi berantakan, karena pemuda itu tidak punya ilmu dan
keahlian memainkan biola.
Seusai itu KHAD menerangkan makna
agama 'Agama bagaikan musik indah yang mampu memberikan kesyahduan,
ketenangan, dan kebahagiaan. Tetapi harus dilakukan dengan ilmu
pengetahuan, kalau tidak malah bisa menjadi kacau dan jadi bahan
tertawaan'.
Perjuangannya semakin mendapat tantangan dan tidak
jarang KHAD dikategorikan orang kafir. Akan tetapi KHAD semakin
"keukeuh" bahwa perubahan harus dilakukan.
Maka KHAD mempelajari
organisasi-organisasi modern yang mengajak pada perubahan, terutama
Budi Utomo. Dari situ muncullah inspirasi pendirian Muhammadiyah. Maka
lahirlah Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912, sebagai
perserikatan non-politik.
Berbasis perjuangan melalui pendidikan
dan kesehatan Muhammadiyah terus berkembang secara kuantitatif. Secara
kualitatif, Muhammadiyah harus mulai introspeksi, karena tantangan
zamannya juga semakin kompleks.
Tanpa harus berubah menjadi
sebuah partai, Muhammadiyah bisa dengan tegar memberikan masukan kepada
penyelenggara negara. Yang jelas, titipan KHAD harus terus dipegang
"hidupilah Muhammadiyah, tetapi jangan mencari penghidupan dari
Muhammadiyah". Insya Allah.
Resensi Film Sang Pencerah ( Kh. Ahmad Dahlan)
Diposting oleh
vebbieagustian
on Minggu, 27 April 2014
Label:
bahasa indonesia 2
0 komentar:
Posting Komentar